Ads 468x60px

Sabtu, 27 April 2013

Tukang Kayu dan Rumahnya



Tukang Kayu dan Rumahnya




Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja karena tidak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya. Tetapi keputusannya sudah bulat, karena ia sudah lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati hari tuanya bersama keluarganya.
Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon si tukang kayu untuk terakhir kalinya, membangun sebuah rumah untuk dirinya. Tukang kayu itu menyanggupi permintaan pemimpin perusahaan tersebut, walaupun sebenarnya dilakukannya dengan terpaksa. Ia sudah sangat ingin berhenti. Hati dan pikirannya tidak sepenuhnya tercurah pada pekerjaan tersebut.
Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek tersebut. Ia hanya menggunakan bahan-bahan sekedarnya. Lalu pada akhirnya selesailah rumah itu. Tetapi bukanlah karya yang baik. Sungguh sayang sebenarnya, ia mengakhiri kariernya, bukan dengan menunjukkan kualitas seorang ahli yang mengagumkan.
Ketika sang pemilik perusahaan datang untuk melihat hasil karya si tukang kayu, sang pemilik perusahaan mengulurkan kunci rumah tersebut pada si tukang kayu. Kata si pemilik, ”Saya sengaja menyuruhmu membangun rumah ini, supaya engkau membuatnya sesuai dengan seleramu. Semua biaya kami yang tanggung. Karena kami ingin menghadiahkan hadiah yang terbaik yang akan kamu kenang seumur hidupmu. Rumah ini adalah hadiah dari perusahaan untuk baktimu selama ini. Terimalah!”  Betapa terkejutnya si tukang kayu. Ia sangat malu dan menyesal. Kalau saja ia tau, hasil karya itu akan dipersembahkan untuknya, tentu ia akan membangunnya dengan cara yang berbeda. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tidak terlalu bagus, hasil karyanya sendiri.
Itulah yang seringkali terjadi pada kehidupan kita. Kita membangun hidup kita dengan seenaknya, tanpa perhitungan. Kita cenderung menjalani hidup dalam upaya sekedarnya daripada melakukan yang terbaik. Bahkan pada bagian terpenting dalam hidup kitapun seperti memutuskan menikah, menjalani mahligai rumah tangga, memiliki, mendididk dan membesarkan anak, dll, kita melakukannya tidak dengan pemikiran yang matang dan upaya yang optimal. Tidaklah mengherankan kalau pada akhir perjalan hidup, kita terkejut melihat dampak yang ditimbulkan dari upaya kita membangun hidup. Dan kita harus tinggal di dalam rumah kehidupan yang kita bangun tersebut. Seandainya kita tau, kita akan membangunnya dengan cara yang berbeda ......
Renungkanlah, kita adalah si tukang kayu. Setiap hari kita memasang papan, memukul paku, mendirikan atap dan dinding. Mari kita selesaikan rumah kehidupan kita dengan sebaik-baiknya, seolah kita hanya bekerja hari itu saja. Biarpun kita hanya hidup sehari, maka dalam satu hari itu kita pantas hidup dalam keagungan dan kejayaan Tuhan. Hidup kita di hari esok, adalah dampak dari sikap dan pilihan kita hari ini. Kata Salomo,”Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu” (Amsal 27:1).