Oleh : Pdt.
Darius Pakiding, S.Th
|
Tulisan ini menelaah, secara ringkas, hubungan yang
mengagumkan yang dimiliki Abraham dengan Allah.
Mengapa Abraham
disebut Sahabat Allah ?
Pendahuluan
Saya tergugah
dengan sebuah pernyataan yang dibuat oleh Yakobus tentang Abraham, Bapa orang
beriman. Yakobus berkata: Yakobus 2:23 Dengan jalan demikian genaplah nas yang
mengatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan
hal itu kepadanya sebagai kebenaran”; Karena itu Abraham disebut “Sahabat
Allah.”
Cermati bagaimana Yakobus memberikan perhatian pada
kenyataan bahwa Abraham disebut Sahabat
Allah. Allah yang maha kuasa, maha Mulia, maha hadir, maha dahsyat dan maha
mengetahui, adalah yang membuat pertanyaan ini. Ini bukanlah perkiraan Abraham
tentang hubungannya dengan Allah, bukan pula pendapatnya tentang Allah. Ini
adalah pernyataan yang dibuat Allah mengenai Abraham.
Yakobus mengutip dari Yesaya 41:8 Tetapi engkau, hai
Israel, hambaKu hai Yakub, yang telah kupilih, keturunan Abraham yang kukasihi.
Namun kata “Sahabatku” adalah kenyataan bagaimana
anggapan Allah terhadap Abraham, dan hubungannya dengan Allah adalah suatu
persahabatan yang nyata dan mendalam. Ini tentunya mendorong timbulnya
pertanyaan yang mengusik:
·
Bagaimana mungkin
hubungan semacam itu dapat terjadi?
·
Apa yang membuat
persahabatan semacam itu dapat terbentuk?
·
Dan akhirnya,
dapatkah kita menikmati hubungan semacam itu
dengan
Allah, dan apabila kita dapat, bagaimana cara memperolehnya?
Sebagian dari jawaban atas pertanyaan terakhir adalah
“ya”. Allah tidaklah mengistimewakan pribadi tertentu. Kita juga dapat mengalami persahabatan dengan
Allah sama seperti yang dialami oleh Abraham. Namun untuk dapat mengalami
hubungan persahabatan ini pertama-tama kita perlu untuk menguji apa yang
menjadikan persahabatan mereka menjadi seperti itu, untuk memahami bagaimana
kita dapat, seperti Abraham, disebut sebagai sahabat-sahabat Allah.
Diperlukan adanya suatu kesepakatan
Anda dan saya sudah bertemu banyak orang dalam
perjalanan hidup kita hingga sekarang ini, dan tentunya akan bertemu lebih
banyak orang lagi di masa depan. Namun apabila kita bandingkan, hanya beberapa
yang telah menjadi, atau akan menjadi teman dekat kita. Mengapa?
Salah satu alasan yang sangat jelas dan hal utama
adalah dari segi kesepakatan.
Pikirkan sejenak hal itu. Sahabat terbaik kita adalah
mereka yang sepakat dengan kita pada sejumlah besar masalah yang penting. Sahabat mempunyai pemikiran yang serupa.
Kita dapat saja bersikap bersahabat dengan orang lain — maksudnya, selalu dapat
melakukan percakapan yang menyenangkan dan hangat dengan mereka, senang bertemu
dengan mereka dari waktu ke waktu — tetapi sahabat baik kita adalah mereka yang
berpikir seperti kita. Ketidakcocokan pemikiran, pendapat yang berbeda, dan
pilihan-pilihan yang berbeda benar-benar tidak menjaddikan hubungan akrab.
Pepatah lama mengatakan burung-burung
yang sejenis bergerombol bersama-sama. Demikian pula halnya dengan Abraham
dan persahabatannya dengan Allah. Ia mempunyai kesepakatan penuh dengan Allah.
Perhatikanlah apa yang Allah katakan tentang Abraham
dalam Kejadian 26 : 3 – 5 Di sini Allah
berbicara kepada Ishak dan meneguhkan kembali janji yang sudah diberikanNya
kepada Abraham, janji yang kemudian tetap dipegangNya dengan Ishak.
Mengapa Allah membuat janji yang tidak bersyarat
kepada Abraham, dan kemudian meneruskan janji itu kepada Ishak, anak laki-laki
Abraham? Karena Abraham mentaati Allah
dan memelihara perintah-Nya (ayat 5). Abraham mempunyai kesepakatan
sepenuhnya dengan Allah. Ia mentaati Allah secara tepat dan dalam hal yang
sekecil-kecilnya bahkan pada saat ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi.
Nabi Amoslah yang kemudian mengajukan pertanyaan yang retoris: Amos 3:3
Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?
Pengertian dari bahasa Ibrani ayat ini sungguh
menarik. Kata berjanji di sini
diambil dari bahasa Ibrani ya’ad yang berarti menetapkan, menunjuk, mengatur, bertemu, menentukan, mengikatkan;
mempertemukan, mempertemukan atas dasar perjanjian, dan lain sebagainya.
Pengertian ini tidak hanya dua orang yang berjalan bersama-sama ke arah yang
sama karena mereka setuju untuk itu, namun lebih pada pengertian adanya dua
orang yang bersepakat untuk dan membuat suatu perjanjian untuk bergabung dan
dari situ memulai sebuah perjalanan bersama ke satu tujuan. Hal ini adalah
seperti berkata kepada seseorang, saya akan bertemu anda di Kantor Pos dan dari
sana kita dapat
pergi ke restoran. Alkitab menangkap pengertian ini: Amos 3:3 Akankah dua
orang berjalan bersama, kecuali jika mereka telah lebih dulu berjanji? (terjemahan bebas)
Konteks dari perikop ini diberikan dalam ayat-ayat
yang mendahuluinya.
Amos 3:1-2 Dengarkanlah firman ini, yang telah
diucapkan Tuhan mengenai kalian, hai orang-orang Israel, tentang segenap kaum
yang telah Kutuntun keluar dari tanah Mesir, bunyinya: “Hanya kamu yang Kukenal
dari segala kaum di muka bumi, sebab itu Aku akan menghukum kamu karena segala
pelanggaranmu. (terjemahan bebas)
Allah membawa Israel keluar dari Mesir dan
membawanya ke Gunung Sinai dimana Allah membuat perjanjian dengan mereka. Dalam
perjanjian itu Ia berjanji untuk melindungi dan memberkati mereka. Sebagai balasannya,
umat Israel
berjanji untuk mentaatiNya dan memelihara hukum-hukumNya. Disinilah kesepakatan
atau perjanjian terjadi antara bangsa Israel dan Allah mengenai rencana
mereka untuk berangkat bersama-sama menuju suatu kehidupan baru di tanah
perjanjian. Akan tetapi, Israel
mengingkari bagian kewajiban mereka dan berbelok dari arah mereka.
Berulang-kali mereka mengatakan, kami
akan turut serta, kami setuju, tetapi kata-kata mereka bukanlah kata-kata
yang dapat dipegang dan karena itu Israel dan Allah tidak dapat
berjalan bersama-sama untuk waktu yang lama.
Dalam hal ini, Israel telah gagal meneladani
Abraham nenek moyangnya yang:
·
pergi dari
negerinya ke suatu negeri yang akan Allah tunjukkan padanya;
·
mengetahui cara
bagaimana Allah berjalan dan menyesuaikan diri dengan itu;
·
hidup sesuai dengan
perintah Allah dan tidak mengikuti cara dunia ini.
Abraham berada dalam kesepakatan yang tepat dan tetap
dengan Allah — dan hal itu merupakan salah satu faktor yang merupakan
kontribusi terhadap persahabatannya dengan Allah.
Padanannya bagi kita sebagai orang Kristen adalah
bahwa kita membuat perjanjian dengan Allah pada saat dibaptiskan. Kita
mengatakan, Ya! Kami akan pergi ke mana
Anda ingin pergi. Kami akan melakukan apa yang Anda ingin lakukan. Pada
saat dibabtis, kita mengadakan perjanjian denganNya untuk mengasihiNya dan
mentaatiNya. Dari sisi Allah, Ia menjanjikan pengampunan, karunia-karunia Roh
Kudus, dan kehidupan kekal dalam Kerajaan Surga. Apabila kita setia pada
perjanjian kita dengan Allah dan memastikan untuk memasrahkan kemauan dan
keinginan kita sesuai dengan kehendakNya — apabila kita mengijinkan Dia untuk menentukan langkah dan menetapkan arah yang akan kita tempuh,
maka kita akan mempunyai suatu kesepakatan denganNya yang merupakan salah satu
faktor yang mutlak bagiNya untuk menyebut kita sahabatNya.
Setia dan dapat
diandalkan
Faktor penting yang ke dua yang memberikan kontribusi
terhadap adanya persahabatan adalah sikap setia dan dapat diandalkan. Apabila
anda merenungkan kembali orang-orang yang anda hitung sebagai teman dekat anda,
maka mereka itu adalah orang-orang yang setia kepada anda baik dalam kesusahan
maupun kesenangan. Itu adalah orang-orang yang bisa anda andalkan pada saat
anda berada dalam suatu pertaruhan.
Kita pernah mendengar dan mungkin juga pernah
menggunakan peribahasa kawan di cuaca
cerah. Kita menggunakannya pada mereka yang suka menjadi teman kita pada
saat segala sesuatu berjalan baik dan lancar. Tetapi, pada saat permasalahan
dan kesulitan menimpa, mereka menghilang. Kawan di cuaca cerah bersikap seperti
itu karena mereka mencari apa yang dapat mereka peroleh dari sebuah hubungan —
dan bukannya apa yang dapat mereka berikan atau taruh di dalamnya.
Akan tetapi, sahabat yang sejati adalah mereka yang
saling setia dan saling mempercayai satu sama lain saat senang dan pada saat kesusahan datang:
·
sahabat yang sejati
saling mendukung
·
sahabat yang sejati
saling berkorban
·
sahabat yang sejati
dapat diandalkan — mereka selalu ada pada saat diperlukan
Yesus Kristus menjelaskan pentingnya kesetiaan,
kehandalan dan pengorbanan sebagai sebuah komponen dari persahabatan kita
denganNya, pada malam menjelang kematianNya. Saat berbicara kepada
murid-muridnya Yesus mengatakan: Yohanes 15:13 Tidak ada kasih yang lebih besar
daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.
Dan Ia setia pada perkataanNya itu. Kristus
menunjukkan pada kita sikap persahabatan yang pamungkas dengan mengorbankan
nyawaNya bagi kita sebagai korban tebusan dosa-dosa kita. Ia mempraktikkan apa
yang Ia ajarkan. Ia mengorbankan segalanya bagi kita.
Pengorbanan Kristus bagi kita, sebagai pernyataan
persahabatanNya yang sejati terhadap kita, seharusnya membangkitkan sikap setia
dan dapat diandalkan pada diri kita. Yohanes 15:14 Kamu adalah sahabatKu,
jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.
Kristus menjelaskan bahwa, sama seperti Ia siap
memberikan segalanya bagi kita, kitapun perlu melakukan segalanya bagi Dia
untuk menunjukkan kesetiaan kita dan kehandalan kita padaNya.
Tentu saja, kesetiaan dan kehandalan hanya dapat
menjadi sepenuhnya terlihat ketika kita diuji dan digoda untuk melawan
prinsip-prinsip tersebut. Sebagai contoh, apabila anda diberitahu oleh majikan
atau atasan anda bahwa jika anda tidak bekerja pada hari Sabat akan
mengakibatkan dilakukannya tindakan tegas pada anda, bahkan mungkin hilangnya
pekerjaan anda — dan anda memiliki keluarga yang perlu dukungan dan/atau
rekening-rekening yang harus dibayar — maka pada saat itu perintah untuk
mengingat dan menguduskan hari Sabat dapat menjadi ujian yang berat atas
kesetiaan kepada Allah dan Kristus.
Namun, apabila kita adalah sahabat sejati Allah dan
putraNya, kita akan setia kepada perintahNya, tanpa menghiraukan
konsekuensi-konsekuensinya. Dan melalui tindakan-tindakan kita, Allah dapat
melihat bahwa Ia dapat mengandalkan kita untuk dapat melaluinya tanpa tercela.
Dan Ia tidak akan membiarkan kesetiaan seperti itu lalu begitu saja. Pada
waktunya kesetiaan kita akan memperoleh kompensasi, dalam hidup ini atau dalam
hidup yang akan datang.
Abraham adalah seorang sahabat sejati Allah dalam
pengertian ini — dan ujian yang diberikan Allah untuk mengorbankan Ishak
menunjukkan baik kesetiannya kepada perintah Allah dan juga bahwa ia dapat
diandalkan. Ketika Abraham menerima perintah untuk membunuh Ishak, tak pelak
perasaan kacau muncul dalam pikirannya. Pengorbanan manusia adalah sesuatu yang
lumrah dalam agama-agama palsu pada jaman itu. Sehingga, mungkin pada satu
tahap, tuntutan untuk membunuh Ishak tidak terlihat sama sekali tak berasalan
bagi Abraham. Tidak ada catatan bahwa Abraham mempertanyakan tentang hal ini
kepada Allah. Di sisi lain, Ishak merupakan anak yang sangat dikasihi Abraham.
Dia adalah anak yang dijanjikan. Melalui anak inilah Allah akan memenuhi janji
yang pernah Ia berikan pada Abraham (Kejadian 17). Tambahan pula, Abraham
mungkin juga dapat berasalan bahwa membunuh orang lain merupakan suatu
pembunuhan dan tentunya hal itu adalah dosa.
Akan tetapi, Abraham melakukan seperti yang
diperintahkan Allah dan membuat persiapan untuk mengorbankan Ishak. Ia
menunjukkan kesetiannya kepada Penciptanya. Karena itu, Allah menganggap
Abraham sebagai sahabatNya.
Kemampuan untuk dapat mempercayakan
Satu aspek terakhir yang membentuk persahabatan sejati
yang akan kita renungkan adalah kemampuan dari sahabat sejati untuk saling
mempercayakan.
Pengertian ini dilandaskan pada dua pengertian
sebelumnya. Sahabat sejati kita adalah seseorang kepada siapa kita dapat
mempercayakan sesuatu dengan sepenuhnya. Mereka adalah orang-orang kepada siapa
kita dapat mengkomunikasikan perasaan dan kepercayaan kita yang terdalam,
karena kita tahu bahwa kita memiliki seorang pendengar yang siap memberikan
dukungan dan tidak akan mengkhianati kita.
Dengan seorang sahabat sejati kita dapat mendiskusikan
apa yang ada dalam pikiran kita, kita dapat berbagi sukacita, pendapat kita,
rencana kita, dan bahkan dukacita dan penyesalan kita. Manakala terdapat
persahabatan yang kuat dan mendalam, tidak ada yang perlu disembunyikan.
Kristus menjelaskan dimensi dari persahabatan seperti
ini: Yohanes 15:15 Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu,
apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi aku menyebut kamu sahabat, karena Aku
telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari
Bapaku.
Sahabat saling mempercayakan segala sesuatu antara
satu dengan yang lain, dan Kristus menganggap kita sebagai sahabatNya yang
seperti itu sehingga Ia dapat mempercayakan segala seuatu pada kita dan
memberitahukan semua rencana, harapan dan keinginan yang ada padaNya dan pada
BapaNya bagi kita dan umat manusia. Ia mengatakan bahwa semua yang telah Ia dengar dari Bapa, sudah diberitahukanNya kepada
kita. Sementara itu, bergantung pada tingkat persahabatan kita dengan orang
lain, kita cenderung untuk menyembunyikan hal tertentu. Hanya ada sedikit orang
dengan siapa kita dapat menceritakan segalanya. Hanya teman terdekat kita yang
mendapatkan perlakuan semacam itu. Tetapi Kristus menunjukkan di sini bahwa Dia
menganggap kita sebagai sahabatNya yang paling dekat dan paling simpatik.
Sama seperti Allah melalui Kristus mengulurkan
persahabatan kepada kita melalui kesediaanNya untuk mempercayakan segala
sesuatu pada kita, maka kita harus membalas sikap persahabatan itu padaNya
dengan mempercayakan segala sesuatu padaNya. Kita harus meluangkan waktu untuk
bercakap-cakap denganNya, mencurahkan isi hati kepadaNya, dan menceritakan
semua kebutuhan dan keinginan kita.
Abaham adalah manusia seperti itu. Dan sedemikian
baiknya ia sebagai seorang sahabat sehingga Allah sungguh-sungguh menganggapnya
sebagai seorang yang terpercaya. Dalam Kejadian 18 kita membaca keakraban yang
mengagumkan yang dinikmati Abraham bersama Allah melalui Kristus yang bertindak
sebagai utusan Allah. Yesus Kristus dan dua malaikat bertemu dengan Abraham
utnuk menyatakan padanya bahwa Sara akan melahirkan Ishak sebagai suatu
penggenapan janji Allah kepadanya. Kemudian kedua malaikat itu melanjutkan
perjalanan mereka menuju Sodom untuk
menyelamatkan Lot dan keluarganya agar tidak turut terseret di dalam pemusnahan
kota tersebut. Kejadian
18:17-19
Kristus, sebagai Malak (utusan) Allah, tahu seperti apa pribadi Abraham
sebenarnya dan merasa aman untuk mempercayakan rencanaNya mengenai Sodom dan Gomora
kepadanya. Dalam ukuran yang sama, Abraham terbuka terhadap Allah dan
bercakap-cakap secara bebas denganNya, seperti yang dia lakukan dengan Yesus
Kristus dalam percakapan yang dicatat dalam ayat-ayat berikut ini: Kejadian
18:20-33 Sesudah itu berfirmanlah Tuhan: “Sesungguhnya banyak keluh kesah orang
tentang Sodom
Kesimpulan
Hubungan yang dinikmati Abraham dengan Allah, dalam
ukuran manusia, merupakan hubungan yang sungguh luar biasa — tetapi juga
menguatkan bagi kita. Allah bukanlah Allah yang setengah-setengah. Ia bukanlah
Allah yang pilih kasih. Allah tidak melibatkan dirinya sendiri dalam suatu klik
(persekongkolan) tertentu ataupun kelompok eksklusif di mana hanya beberapa
orang-orang tertentu saja yang dapat masuk. Sebaliknya, Dia memberikan uluran
tangan-persahabatan kepada semua bagian dari keluargaNya. Jika kita meneladani
kakek moyang rohani kita, Abraham, untuk menjadi senantiasa berkesepakatan dengan Allah, menunjukkan kesetiaan dan kehandalan terhadap Allah,
dan secara terbuka mempercayakan segala
sesuatu kepadaNya, maka kita juga akan disebut sebagai sahabat-sahabat
Allah.