Ads 468x60px

Rabu, 22 Mei 2013

" AKU DAN FIRMANNYA "




“ Aku dan Firman-Nya “
Suatu Kajian tentang Membina Relasi Pribadi dengan Tuhan
Oleh :  Pdt. Darius Pakiding, S.Th







Tulisan ini menelaah, secara ringkas, hubungan yang mengagumkan yang dimiliki Abraham dengan Allah.

Mengapa Abraham disebut Sahabat Allah ?

Pendahuluan
 Saya tergugah dengan sebuah pernyataan yang dibuat oleh Yakobus tentang Abraham, Bapa orang beriman. Yakobus berkata: Yakobus 2:23 Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran”; Karena itu Abraham disebut “Sahabat Allah.”

Cermati bagaimana Yakobus memberikan perhatian pada kenyataan bahwa Abraham disebut Sahabat Allah. Allah yang maha kuasa, maha Mulia, maha hadir, maha dahsyat dan maha mengetahui, adalah yang membuat pertanyaan ini. Ini bukanlah perkiraan Abraham tentang hubungannya dengan Allah, bukan pula pendapatnya tentang Allah. Ini adalah pernyataan yang dibuat Allah mengenai Abraham.

Yakobus mengutip dari Yesaya 41:8 Tetapi engkau, hai Israel, hambaKu hai Yakub, yang telah kupilih, keturunan Abraham yang kukasihi.

Anak-anak Israel adalah hamba-hamba Allah dan keturunan Abraham, yang adalah sahabat Allah. Pertimbangkanlah sejenak betapa mengagumkannya kata-kata ini, dan betapa mengagumkan hubungan yang yang digambarkan oleh kata-kata tersebut! Pertimbangkanlah bagaimana makhluk yang terbatas, fana, tidak bisa lepas dari kematian mendapatkan penghargaan dari Allah yang Maha Dahsyat, kekal, Maha Mengetahui dan Maha Tinggi sebagai sahabatNya yang terkasih. Pertimbangkan pula bagaimana seorang manusia yang tidak sempuna, yang dijadikan dari debu tanah akan dipandang oleh Allah pencipta yang mempunyai Roh Kekekalan, sebagai seseorang dengan siapa Ia dapat menjalin persahabatan yang hangat, tak berakhir dan istimewa.

Namun kata “Sahabatku” adalah kenyataan bagaimana anggapan Allah terhadap Abraham, dan hubungannya dengan Allah adalah suatu persahabatan yang nyata dan mendalam. Ini tentunya mendorong timbulnya pertanyaan yang mengusik:
·         Bagaimana mungkin hubungan semacam itu dapat terjadi?
·         Apa yang membuat persahabatan semacam itu dapat terbentuk?
·         Dan akhirnya, dapatkah kita menikmati hubungan semacam itu
       dengan Allah, dan apabila kita dapat, bagaimana cara memperolehnya?
Sebagian dari jawaban atas pertanyaan terakhir adalah “ya”. Allah tidaklah mengistimewakan pribadi tertentu. Kita juga dapat mengalami persahabatan dengan Allah sama seperti yang dialami oleh Abraham. Namun untuk dapat mengalami hubungan persahabatan ini pertama-tama kita perlu untuk menguji apa yang menjadikan persahabatan mereka menjadi seperti itu, untuk memahami bagaimana kita dapat, seperti Abraham, disebut sebagai sahabat-sahabat Allah.

Diperlukan adanya suatu kesepakatan
Anda dan saya sudah bertemu banyak orang dalam perjalanan hidup kita hingga sekarang ini, dan tentunya akan bertemu lebih banyak orang lagi di masa depan. Namun apabila kita bandingkan, hanya beberapa yang telah menjadi, atau akan menjadi teman dekat kita. Mengapa?
Salah satu alasan yang sangat jelas dan hal utama adalah dari segi kesepakatan.
Pikirkan sejenak hal itu. Sahabat terbaik kita adalah mereka yang sepakat dengan kita pada sejumlah besar masalah yang penting. Sahabat mempunyai pemikiran yang serupa. Kita dapat saja bersikap bersahabat dengan orang lain — maksudnya, selalu dapat melakukan percakapan yang menyenangkan dan hangat dengan mereka, senang bertemu dengan mereka dari waktu ke waktu — tetapi sahabat baik kita adalah mereka yang berpikir seperti kita. Ketidakcocokan pemikiran, pendapat yang berbeda, dan pilihan-pilihan yang berbeda benar-benar tidak menjaddikan hubungan akrab. Pepatah lama mengatakan burung-burung yang sejenis bergerombol bersama-sama. Demikian pula halnya dengan Abraham dan persahabatannya dengan Allah. Ia mempunyai kesepakatan penuh dengan Allah.

Perhatikanlah apa yang Allah katakan tentang Abraham dalam Kejadian 26 : 3 – 5  Di sini Allah berbicara kepada Ishak dan meneguhkan kembali janji yang sudah diberikanNya kepada Abraham, janji yang kemudian tetap dipegangNya dengan Ishak. 

Mengapa Allah membuat janji yang tidak bersyarat kepada Abraham, dan kemudian meneruskan janji itu kepada Ishak, anak laki-laki Abraham? Karena Abraham mentaati Allah dan memelihara perintah-Nya (ayat 5). Abraham mempunyai kesepakatan sepenuhnya dengan Allah. Ia mentaati Allah secara tepat dan dalam hal yang sekecil-kecilnya bahkan pada saat ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Nabi Amoslah yang kemudian mengajukan pertanyaan yang retoris: Amos 3:3 Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?

Pengertian dari bahasa Ibrani ayat ini sungguh menarik. Kata berjanji di sini diambil dari bahasa Ibrani ya’ad  yang berarti menetapkan, menunjuk, mengatur, bertemu, menentukan, mengikatkan; mempertemukan, mempertemukan atas dasar perjanjian, dan lain sebagainya. Pengertian ini tidak hanya dua orang yang berjalan bersama-sama ke arah yang sama karena mereka setuju untuk itu, namun lebih pada pengertian adanya dua orang yang bersepakat untuk dan membuat suatu perjanjian untuk bergabung dan dari situ memulai sebuah perjalanan bersama ke satu tujuan. Hal ini adalah seperti berkata kepada seseorang, saya akan bertemu anda di Kantor Pos dan dari sana kita dapat pergi ke restoran. Alkitab   menangkap pengertian ini: Amos 3:3 Akankah dua orang berjalan bersama, kecuali jika mereka telah lebih dulu berjanji? (terjemahan bebas)

Konteks dari perikop ini diberikan dalam ayat-ayat yang mendahuluinya.
Amos 3:1-2 Dengarkanlah firman ini, yang telah diucapkan Tuhan mengenai kalian, hai orang-orang Israel, tentang segenap kaum yang telah Kutuntun keluar dari tanah Mesir, bunyinya: “Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi, sebab itu Aku akan menghukum kamu karena segala pelanggaranmu. (terjemahan bebas)

Allah membawa Israel keluar dari Mesir dan membawanya ke Gunung Sinai dimana Allah membuat perjanjian dengan mereka. Dalam perjanjian itu Ia berjanji untuk melindungi dan memberkati mereka. Sebagai balasannya, umat Israel berjanji untuk mentaatiNya dan memelihara hukum-hukumNya. Disinilah kesepakatan atau perjanjian terjadi antara bangsa Israel dan Allah mengenai rencana mereka untuk berangkat bersama-sama menuju suatu kehidupan baru di tanah perjanjian. Akan tetapi, Israel mengingkari bagian kewajiban mereka dan berbelok dari arah mereka. Berulang-kali mereka mengatakan, kami akan turut serta, kami setuju, tetapi kata-kata mereka bukanlah kata-kata yang dapat dipegang dan karena itu Israel dan Allah tidak dapat berjalan bersama-sama untuk waktu yang lama.
Dalam hal ini, Israel telah gagal meneladani Abraham nenek moyangnya yang:
·         pergi dari negerinya ke suatu negeri yang akan Allah tunjukkan padanya;
·         mengetahui cara bagaimana Allah berjalan dan menyesuaikan diri dengan itu;
·         hidup sesuai dengan perintah Allah dan tidak mengikuti cara dunia ini.
Abraham berada dalam kesepakatan yang tepat dan tetap dengan Allah — dan hal itu merupakan salah satu faktor yang merupakan kontribusi terhadap persahabatannya dengan Allah.

Padanannya bagi kita sebagai orang Kristen adalah bahwa kita membuat perjanjian dengan Allah pada saat dibaptiskan. Kita mengatakan, Ya! Kami akan pergi ke mana Anda ingin pergi. Kami akan melakukan apa yang Anda ingin lakukan. Pada saat dibabtis, kita mengadakan perjanjian denganNya untuk mengasihiNya dan mentaatiNya. Dari sisi Allah, Ia menjanjikan pengampunan, karunia-karunia Roh Kudus, dan kehidupan kekal dalam Kerajaan Surga. Apabila kita setia pada perjanjian kita dengan Allah dan memastikan untuk memasrahkan kemauan dan keinginan kita sesuai dengan kehendakNya — apabila kita mengijinkan Dia untuk menentukan langkah dan menetapkan arah yang akan kita tempuh, maka kita akan mempunyai suatu kesepakatan denganNya yang merupakan salah satu faktor yang mutlak bagiNya untuk menyebut kita sahabatNya.

Setia dan dapat diandalkan
Faktor penting yang ke dua yang memberikan kontribusi terhadap adanya persahabatan adalah sikap setia dan dapat diandalkan. Apabila anda merenungkan kembali orang-orang yang anda hitung sebagai teman dekat anda, maka mereka itu adalah orang-orang yang setia kepada anda baik dalam kesusahan maupun kesenangan. Itu adalah orang-orang yang bisa anda andalkan pada saat anda berada dalam suatu pertaruhan.

Kita pernah mendengar dan mungkin juga pernah menggunakan peribahasa kawan di cuaca cerah. Kita menggunakannya pada mereka yang suka menjadi teman kita pada saat segala sesuatu berjalan baik dan lancar. Tetapi, pada saat permasalahan dan kesulitan menimpa, mereka menghilang. Kawan di cuaca cerah bersikap seperti itu karena mereka mencari apa yang dapat mereka peroleh dari sebuah hubungan — dan bukannya apa yang dapat mereka berikan atau taruh di dalamnya.
Akan tetapi, sahabat yang sejati adalah mereka yang saling setia dan saling mempercayai satu sama lain saat senang dan pada saat kesusahan datang:
·         sahabat yang sejati saling mendukung
·         sahabat yang sejati saling berkorban
·         sahabat yang sejati dapat diandalkan — mereka selalu ada pada saat diperlukan

Yesus Kristus menjelaskan pentingnya kesetiaan, kehandalan dan pengorbanan sebagai sebuah komponen dari persahabatan kita denganNya, pada malam menjelang kematianNya. Saat berbicara kepada murid-muridnya Yesus mengatakan: Yohanes 15:13 Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

Dan Ia setia pada perkataanNya itu. Kristus menunjukkan pada kita sikap persahabatan yang pamungkas dengan mengorbankan nyawaNya bagi kita sebagai korban tebusan dosa-dosa kita. Ia mempraktikkan apa yang Ia ajarkan. Ia mengorbankan segalanya bagi kita.
Pengorbanan Kristus bagi kita, sebagai pernyataan persahabatanNya yang sejati terhadap kita, seharusnya membangkitkan sikap setia dan dapat diandalkan pada diri kita. Yohanes 15:14 Kamu adalah sahabatKu, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.

Kristus menjelaskan bahwa, sama seperti Ia siap memberikan segalanya bagi kita, kitapun perlu melakukan segalanya bagi Dia untuk menunjukkan kesetiaan kita dan kehandalan kita padaNya.

Tentu saja, kesetiaan dan kehandalan hanya dapat menjadi sepenuhnya terlihat ketika kita diuji dan digoda untuk melawan prinsip-prinsip tersebut. Sebagai contoh, apabila anda diberitahu oleh majikan atau atasan anda bahwa jika anda tidak bekerja pada hari Sabat akan mengakibatkan dilakukannya tindakan tegas pada anda, bahkan mungkin hilangnya pekerjaan anda — dan anda memiliki keluarga yang perlu dukungan dan/atau rekening-rekening yang harus dibayar — maka pada saat itu perintah untuk mengingat dan menguduskan hari Sabat dapat menjadi ujian yang berat atas kesetiaan kepada Allah dan Kristus.

Namun, apabila kita adalah sahabat sejati Allah dan putraNya, kita akan setia kepada perintahNya, tanpa menghiraukan konsekuensi-konsekuensinya. Dan melalui tindakan-tindakan kita, Allah dapat melihat bahwa Ia dapat mengandalkan kita untuk dapat melaluinya tanpa tercela. Dan Ia tidak akan membiarkan kesetiaan seperti itu lalu begitu saja. Pada waktunya kesetiaan kita akan memperoleh kompensasi, dalam hidup ini atau dalam hidup yang akan datang.

Abraham adalah seorang sahabat sejati Allah dalam pengertian ini — dan ujian yang diberikan Allah untuk mengorbankan Ishak menunjukkan baik kesetiannya kepada perintah Allah dan juga bahwa ia dapat diandalkan. Ketika Abraham menerima perintah untuk membunuh Ishak, tak pelak perasaan kacau muncul dalam pikirannya. Pengorbanan manusia adalah sesuatu yang lumrah dalam agama-agama palsu pada jaman itu. Sehingga, mungkin pada satu tahap, tuntutan untuk membunuh Ishak tidak terlihat sama sekali tak berasalan bagi Abraham. Tidak ada catatan bahwa Abraham mempertanyakan tentang hal ini kepada Allah. Di sisi lain, Ishak merupakan anak yang sangat dikasihi Abraham. Dia adalah anak yang dijanjikan. Melalui anak inilah Allah akan memenuhi janji yang pernah Ia berikan pada Abraham (Kejadian 17). Tambahan pula, Abraham mungkin juga dapat berasalan bahwa membunuh orang lain merupakan suatu pembunuhan dan tentunya hal itu adalah dosa.

Akan tetapi, Abraham melakukan seperti yang diperintahkan Allah dan membuat persiapan untuk mengorbankan Ishak. Ia menunjukkan kesetiannya kepada Penciptanya. Karena itu, Allah menganggap Abraham sebagai sahabatNya.

Kemampuan untuk dapat mempercayakan
Satu aspek terakhir yang membentuk persahabatan sejati yang akan kita renungkan adalah kemampuan dari sahabat sejati untuk saling mempercayakan.

Pengertian ini dilandaskan pada dua pengertian sebelumnya. Sahabat sejati kita adalah seseorang kepada siapa kita dapat mempercayakan sesuatu dengan sepenuhnya. Mereka adalah orang-orang kepada siapa kita dapat mengkomunikasikan perasaan dan kepercayaan kita yang terdalam, karena kita tahu bahwa kita memiliki seorang pendengar yang siap memberikan dukungan dan tidak akan mengkhianati kita.

Dengan seorang sahabat sejati kita dapat mendiskusikan apa yang ada dalam pikiran kita, kita dapat berbagi sukacita, pendapat kita, rencana kita, dan bahkan dukacita dan penyesalan kita. Manakala terdapat persahabatan yang kuat dan mendalam, tidak ada yang perlu disembunyikan.

Kristus menjelaskan dimensi dari persahabatan seperti ini: Yohanes 15:15 Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapaku.

Sahabat saling mempercayakan segala sesuatu antara satu dengan yang lain, dan Kristus menganggap kita sebagai sahabatNya yang seperti itu sehingga Ia dapat mempercayakan segala seuatu pada kita dan memberitahukan semua rencana, harapan dan keinginan yang ada padaNya dan pada BapaNya bagi kita dan umat manusia. Ia mengatakan bahwa semua yang telah Ia dengar dari Bapa, sudah diberitahukanNya kepada kita. Sementara itu, bergantung pada tingkat persahabatan kita dengan orang lain, kita cenderung untuk menyembunyikan hal tertentu. Hanya ada sedikit orang dengan siapa kita dapat menceritakan segalanya. Hanya teman terdekat kita yang mendapatkan perlakuan semacam itu. Tetapi Kristus menunjukkan di sini bahwa Dia menganggap kita sebagai sahabatNya yang paling dekat dan paling simpatik.

Sama seperti Allah melalui Kristus mengulurkan persahabatan kepada kita melalui kesediaanNya untuk mempercayakan segala sesuatu pada kita, maka kita harus membalas sikap persahabatan itu padaNya dengan mempercayakan segala sesuatu padaNya. Kita harus meluangkan waktu untuk bercakap-cakap denganNya, mencurahkan isi hati kepadaNya, dan menceritakan semua kebutuhan dan keinginan kita.
Abaham adalah manusia seperti itu. Dan sedemikian baiknya ia sebagai seorang sahabat sehingga Allah sungguh-sungguh menganggapnya sebagai seorang yang terpercaya. Dalam Kejadian 18 kita membaca keakraban yang mengagumkan yang dinikmati Abraham bersama Allah melalui Kristus yang bertindak sebagai utusan Allah. Yesus Kristus dan dua malaikat bertemu dengan Abraham utnuk menyatakan padanya bahwa Sara akan melahirkan Ishak sebagai suatu penggenapan janji Allah kepadanya. Kemudian kedua malaikat itu melanjutkan perjalanan mereka menuju Sodom untuk menyelamatkan Lot dan keluarganya agar tidak turut terseret di dalam pemusnahan kota tersebut. Kejadian 18:17-19  

Kristus, sebagai Malak (utusan) Allah, tahu seperti apa pribadi Abraham sebenarnya dan merasa aman untuk mempercayakan rencanaNya mengenai Sodom dan Gomora kepadanya. Dalam ukuran yang sama, Abraham terbuka terhadap Allah dan bercakap-cakap secara bebas denganNya, seperti yang dia lakukan dengan Yesus Kristus dalam percakapan yang dicatat dalam ayat-ayat berikut ini: Kejadian 18:20-33 Sesudah itu berfirmanlah Tuhan: “Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom  

Kesimpulan
Hubungan yang dinikmati Abraham dengan Allah, dalam ukuran manusia, merupakan hubungan yang sungguh luar biasa — tetapi juga menguatkan bagi kita. Allah bukanlah Allah yang setengah-setengah. Ia bukanlah Allah yang pilih kasih. Allah tidak melibatkan dirinya sendiri dalam suatu klik (persekongkolan) tertentu ataupun kelompok eksklusif di mana hanya beberapa orang-orang tertentu saja yang dapat masuk. Sebaliknya, Dia memberikan uluran tangan-persahabatan kepada semua bagian dari keluargaNya. Jika kita meneladani kakek moyang rohani kita, Abraham, untuk menjadi senantiasa berkesepakatan dengan Allah, menunjukkan kesetiaan dan kehandalan terhadap Allah, dan secara terbuka mempercayakan segala sesuatu kepadaNya, maka kita juga akan disebut sebagai sahabat-sahabat Allah.